Source: http://www.islamicbookstore.com/b10779.html
Book: Realities of Sufism (Shaykh 'Abd al Qadir Isa)
Shaykh `Abd al-Qadir `Isa. Translated by Suraqah Abdul Aziz. 415 p. 495 grams. Rotterdam, 2009.ISBN 9789079294114
ISBN: 9789079294114
Author: Shaykh 'Abd al Qadir Isa; Suraqah Abdul Aziz (translator)
Publisher: Sunni Publications (October 2009)
Pages: 415 Binding: Paperback
Description from the publisher:
In the Name of Allah, the Compassionate, the Merciful
All praise belongs to Allah as befits His Majesty and Perfection. And may prayers and salutations be upon our Master Mu?ammad and his family.
He is our first teacher and Shaykh; the reliable pillar of those who arrived and the exemplar of the spiritual travellers; the possessor of splendid miracles and manifest spiritual allusions; the Shaykh of the Shadhilis in the blessed land of Aleppo; the reviver of the path of the esteemed ‘Alawi Darqawi Shadhilis in the Levant; the goal of the resolute and the qibla of the purveyors of spiritual divestment; and the possessor of radiant countenance and Muhammadan lights. He is the Shaykh of the noble and renowned Qadiri Shadhili spiritual path [Tariqa]; the spiritual guide and trainer: Sayyidi ‘Abd al-Qadir ‘Isa al-‘Azizi al-Husayni – may Allah have mercy upon him. His biography resembles that of the rightly-guided Ummayad Caliph ‘Umar b. ‘Abd al-‘Aziz – may Allah be pleased with him.
He grew up wearing the finest of clothes and using the most expensive of scents – in fact, similitudes were struck among the people on the basis of his elegant style and handsome appearance. That was until, the people of Allah captivated him with love for Allah Most High and complete immersion in His remembrance. He journeyed from the created universe to the Creator and remained in that state until his soul returned – content with its love for its Lord – to its Maker. May Allah Most High reward him on our behalf with the best reward.
He left Syria for the Hijaz and then to Jordan and was subject to injuries and tests for the sake of Allah. He was confronted by foolish people and remained firm in the face of many types of tribulation. He later went to Turkey to pour out his noble soul to his Maker and was buried next to the esteemed Companion, our master Abu Ayyub al-Ansari – may Allah be pleased with him.
During his days of exile and tribulation he wrote this beautiful book Realities of Sufism. His intention behind the book was to refute the various misconceptions and false claims levelled against the esteemed path of the real Sufism; the Sufism that is confined to the Book and the Sunna and that follows the predecessors of this Umma: Ahl al-Sunna wa al-Jama‘a.
In reality, the writings of our noble Shaykh – may Allah be pleased with him – are in fact his students, pupils, and loving well-wishers who filled the earth with light and knowledge. May Allah be pleased with him on our behalf and elevate his station in highest level of Jannat al-Firdaws.
Abu Yahya Muhammad b. Yahya al-Ninowy al-Husayni al-Halabi May Allah forgive him, his parents, and the believers Atlanta Georgia 16 Ramadan 143.
>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>
Sumber: http://www.darulhasani.com/melayu/?pilih=news&mod=yes&aksi=lihat&id=43
Nasab dan kelahirannya:
Beliau adalah Syekh Abdul Qodir bin Abdillah bin Qasim bin Muhammad bin Isa Azizy Al Halaby As Syazily. Nasabnya bersambung kepada Syekh Umar Al Ba’aj yang masih keturunan Imam Husein ra.
Beliau dilahirkan di kota Halab pada tahun 1338 H /1920 M, dari kedua orang tua yang biasa–biasa saja, bukan keturunan ulama. Beliau hidup dengan senang dan serba berkecukupan bersama kedua orang tuanya.
Masa Muda Syekh
Di awal masa mudanya, beliau sangat menyukai kegiatan olah raga dan pramuka. Beliau juga senantiasa mengenakan pakaian yang mewah, dan memakai minyak wangi yang paling mahal.
Ketika mendapat Hidayah Allah, beliau tidak lagi suka dengan gemerlap dan gebyarnya dunia. ketika beliau berpaling dari dunia, cara hidupnya berubah total tidak sebagaimana kebiasaannya dulu yang senantiasa hidup dalam kelalaian dan kesenangan dunia. Kemudian beliau mendekatkan diri dan berserah kepada Allah.
Perjalanannya dalam mencari Ilmu.
Beliau diberikan kecintaan menuntut ilmu, kemudian bersuhbah dengan para ulama di masanya, diantara guru-gurunya adalah: Syekh Muhammad Zumar, dan Syekh Ahmad Muawwad.
Pada tahun 1949 beliau aktif menjadi seorang pendidik di Madrasah Asy-Syubaniyah, beliau mengajar disana selama enam tahun.
Disela-sela kesibukan beliau sebagai sorang pendidik, beliau juga seorang imam dan khotib di Masjid Hamad.
Perjalanan spritualnya.
Sebelum beliau bergabung dengan madrasah Asy–Syubaniyah, beliau pernah bersuhbah pada Syekh Hasan Hasani-seorang Syekh Tarekat Al–Qodiriyah. Kemudian beliau menempuh perjalanan spritualnya dibawah didikan dan gemblengannya hingga akhirnya ia di beri izin untuk mengembangkan tarekat ini. Dan ditengah-tengah suhbahnya beliau tetap mengajar di madrasah Syubaniyah.
Ketika beliau masih menuntut ilmu di madrasah Syubaniyah, beliau terkenal dengan sifat-sifatnya yang baik, dan budi pekertinya yang luhur, semangatnya yang tak pernah pantang menyerah, semua itu menunjukkan akan kepribadiannya yang baik. Maka tak heran meskipun beliau masih menjadi seorang pelajar, banyak teman-teman di madrasahnya berada dalam bimbingan dan irsyadatnya.
Diantara tanda ketinggian semangatnya dan kejujuran keinginannya untuk mendapatkan cinta dan keridhaan Allah, gelar masyikhoh tidak membuatnya sombong (gurur), dan tidak pernah merasa cukup dengan apa yang telah diperolehnya berupa ketinggian dan kedudukannya, maka beliau senantiasa mencari seorang syekh yang kamil yang dapat mengenalkan dirinya kepada Allah. Tentang hal ini ia berkata:
“Aku pernah membaca dalam kitab syarah Al-Hikam karya Ibnu Ajibah, aku melihat didalamnya ada sesuatu yang aku sendiri belum merealisasikannya- meskipun pada saat itu aku sudah menjadi seorang Syekh, pada saat itu aku sadar sekali bahwa aku harus bersuhbah dengan seorang syekh yang kamil”.
Di kota Halab beliau belum mendapatkan apa yang diinginkannya, maka beliau memutuskan untuk pergi ke Damaskus. Disana beliau bertemu dengan para ulama setempat, akan tetapi dari sekian banyak ulama yang dijumpainya, beliau belum mendapatkan seorang syekh yang menjadi dambaannya. Lalu beliau berulang-ulang menziarahi kuburan Syekhul akbar Muhyiddin Bin Arabi r.a. lalu beliaupun mendapatkan ilham/petunjuk untuk bersuhbah kepada Syekh Muhammad Al-Hasyimi, salah seorang Syekh Thariqoh Asy-Syaziliyah. Lalu beliau mencarinya, dan mendapatkan syekh Muhammad Al-Hasyimi berada di masjid Al-Umawi di Damaskus sedang memberikan pembahasan ilmu tauhid kepada beberapa orang muridnya. Beliaupun mendatangi majlis Syekh Al-Hasyimi dan memperkenalkan dirinya, lalu Syekh Al-Hasyimi berkata kepadanya: “Engkau adalah orang yang paling akhir datang, dan Insya Allah engkau akan menjadi orang pertama diantara mereka, ketahuilah sekian lama aku telah lama menunggumu”.
Maka sempurnalah keinginannya untuk bersuhbah dengan seorang syekh yang kamil, beliau bersuhbah dengan Syekh Muhammad Al-Hasyimi tahun 1952 sampai Syekh Muhammad Al-Hasyimi wafat tahun 1961 M.
Ketika Syekh Al Hasyimi melihat pada diri Syekh Abdul Qodir Isa kemampuan untuk membimbing, maka beliau mengijazahkan wirid am dan khas dalam tarekat syaziliyah, sebagaimana diizinkan pula untuk membimbing dan mentarbiyah. hal itu terjadi pada tahun 1338 H / 1958.
Syekh Abdul Qodir Isa ketika itu masih menjadi imam dan khotib di masjid Sahah Hamad sampai akhirnya beliau ditempatkan di Masjid Al-Adiliyah, kemudian disana beliau membuka majlis zikir setiap hari kamis setelah shalat isya.
Syekh memakmurkan Masjid Al-Adiliyah dengan majlis-majlis ilmu dan zikir, hingga tersebarlah kemasyhurannya kesemua pelosok negeri, maka berbondong-bondonglah orang-orang belajar kepada beliau dengan berbagai macam tingkat keilmuan mereka. Setelah itu tersebar luaslah Tarekat yang beliau pimpin di sebagian besar wilayah Syiria, bahkan menyebarluas sampai ke negara-negara tetangga seperti: Yordan, Turki, Libanon, dan Irak. Dan terus menyebarluas kemasyhurannya sampai hampir tidak ada satu negarapun di dunia ini, melainkan terdapat para ikhwan dan murid-murid syekh. Dan tarekat ini pun sampai juga ke negeri Kuwait, Saudi Arabiyah, Maroko, Aprika selatan, Hindia, Pakistan, Inggris, Belgia, Prancis, Kanada, Amerika, dan negara-negara lainnya. Semua ini menunjukkan penguasaan Syekh yang luas dalam bidang ma’rifat, tarbiyah dan irsyad.
Syekh merupakan seorang pembaharu pertama dalam tarekat sufiyah secara umum dan tarekat syaziliyah secara khusus. Hal ini terbukti dari buku beliau yang berulang kali dicetak ulang dan diterjemahkan kedalam bahasa inggeris, turki, indonesia dan melayu hingga nama beliau terkenal di mana-mana.
Ketinggian maqom syekh terbukti dengan banyaknya murid-murid beliau dari berbagai macam tingkat pendidikan dari setiap negara. Murid-murid beliau laksana penyambung lidah beliau dalam dunia tarekat, karena Syekh tidak meninggalkan kekayaan ilmiyah kecuali buku (Haqoiq an At- Tasawuf) saja. Itu semua disebabkan kewajiban-kewajiban da’wah yang harus diperbaiki yang berada dipundaknya dalam rangka menyebarkan tarekat yang benar yang sesuai dengan Alquran dan Sunnah. Masalah ini telah disebutkan dalam lembaran-lembaran buku beliau.
Inti dari manhaj beliau dan apa yang ingin beliau sampaikan kepada orang-orang, telah dituangkan dan jelaskan dalam bukunya ”Haqoiq an An- Tasawuf ” di mana buku ini sebagai pembuka dalam memahami ilmu syariat, tarekat dan hakikat. Hingga banyak orang menerima dan mengambil manfaat dari kitab ini sesuai dengan tingkat pendidikan mereka.
Karamat Syekh :
Diceritakan bahwa syekh memiliki sejumlah karamat dan khusyufat (kepekaan spiritual) yang nyata, akan tetapi beliau menepis semua hal itu, bahkan senantiasa mengingatkan para murid agar tidak terjebak pada karamat dan khusyufat, dan beliau senantiasa menegaskan bahwa: “Karamat yang paling besar adalah istiqomah terhadap syariat Allah SWT”. Dan definisi tarekat menurut syekh adalah: beramal menurut syariat”. Ketika beliau mendefinisikan tasawuf, beliau berkata: “Tasawuf semuanya adalah akhlak, barang siapa yang bertambah akhlaknya maka bertambah pula nilai ketasawufannya”.
Selama lima tahun beliau mendapat kemuliaan tinggal di kota Madinah berdekatan dengan maqam Rasulullah Saw, kemudian menetap di Yordan tepatnya di kota Aman untuk berda’wah (menyeru kepada Allah), apa yang dilakuakn beliau sebagaimana perilaku para Siddiqin al-mutahaqqiqin yang bila singgah di suatu tempat, masyarakat setempat senantiasa mengambil manfaat dari ilmu, prilaku, dan da’wahnya.
Pada tahun 1991 beliau pergi ke Turki mengunjungi salah seorang muridnya Sayyid Syekh Ahmad Fathullah, salah seorang khalifah tarekat. Ketika disana syekh terkena sakit, dan penyakitnya semakin parah, kemudian beliau dirawat di salah satu rumah sakit di kota Mar-asy, setelah itu beliau dipindahkan ke salah satu rumah sakit di kota Istambul.
Para dokter spesialis yang menangani syekh merasa heran, karena tidak sedikitpun tampak diwajah Syekh adanya rasa sakit, beliau diam, tanpa mengeluh sedikitpun. Hati, mata hati, dan seluruh tubuhnya tenggelam merasakan kebesaran dan mahabbah Allah Swt.
Salah seorang putra Syekh ingin menenangkan perasaan, dan kesadaran Syekh, dan dari masa komanya yang panjang, juga dari kesehatan akalnya, karena sejak sakit beliau tidak berbicara dengan siapapun. Sebelum Syekh sakit beliau selalu memberikan pendidikan khusus dengan putranya ini, karena itulah putranya bertanya tentang bait syair yang pernah didengar dari bapaknya, untuk mengingatkan kepada yang hadir bahwa Allah selalu menangani (memelihara) orang-orang shalih. Alhamdulillah kondisi kesadaraan, kepekaan, dan akal syekh dalam keadaan normal. Diamnya Syekh dikarenakan beliau sedang hanyut dengan cinta Allah Swt. Lalu putranya membacakan bait syair yang berbunyi :
Hai orang yang bertanya kepadaku tentang Rasulullah,bagaimana ia lupa
Lupa itu ………………………………..
Kemudian ia berhenti, dan berkata kepada bapaknya, wahai bapakku tolong sempurnakan untukku bait syair ini, sambil mencandainya, lalu syekh menoleh kepadanya, dan menyempurnakan bait itu:
Lupa itu dari setiap hati yang lalai dan main-main
Lupa lubuk hatinya dari segala sesuatu
Maka ia lupa dari yang selain Allah
Beliau terus mengulang-ngulang bait syair ini: Lupa itu dari setiap hati yang lalai dan main-main
Kemudian mengalirlah air matanya dan menangis, setelah itu beliau tidak pernah berbicara dengan siapapun.
Penutup :
Beliau wafat pada hari sabtu jam 6 sore, tanggal 18 rabiul akhir tahun 1412 Hijriyah, bertepatan dengan tanggal 26 Januari tahun 1991 Masehi. Beliau dimakamkan di samping sahabat Rasulullah yang agung Abi Ayyub Al–Anshary ra. di Istambul -Turki.
No comments:
Post a Comment